Seorang pengunjung tengah menyimak lukisan karya Galam Zulkifli dalam pameran "The Collectors Turn". (foto: argus) |
ARTSociates kembali menghadirkan karya-karya terbaik dari babakan seni rupa kontemporer Indonesia melalui program pamerannya yang ketiga bertajuk “The Collectors' Turn” di Lawangwangi Art and Science Estate, Dago-Bandung mulai tanggal 12 Juni hingga 25 Juni 2010. Kali ini Asmudjo Jono Irianto menjadi kurator pameran tersebut. Asmudjo memilih sejumlah karya-karya dari Agus Suwage, Dede Eri Supria, Dikdik Sayahdikumullah, Entang Wiharso, Galam Zulkifli, Handiwirman Saputra untuk dihadirkan di ruang pamer Lawangwangi. Sekaligus penguatan wacana seni rupa kontemporer Indonesia saat ini yang didukung oleh peranan positif para kolektor seni rupa Indonesia. Dan Para kolektor yang meminjamkan koleksinya untuk dipamerkan adalah Eddy Hartanto, Gunawan Setokusumo, Brenny van Groesen, Oei Hong Djien, Wiyu Wahono, dan Simon Tan. Pembukaan pameran oleh Oei Hong Djien menjadi penanda penting mengenai posisi kolektor yang dianggap paling penting ketimbang senimannya sendiri. Wacana ini dikuatkan oleh pernyataan Oei Hong Djien setelah Asmudjo mengatakan bahwa peran yang paling penting atau bintang dalam seni rupa kontemporer adalah kolektor. “Memang ada benarnya bahwa saat ini yang paling penting adalah kolektor. Tanpa kolektor seniman bisa pindah profesi,” kata Oei Hong Djien. Usai mengapresiasi karya seniman milik kolektor yang disajikan para hadirin yang terdiri dari seniman, publik pecinta seni dan beberapa kolektor muda berbakat yang berlatar belakang investor itu mengikuti sebuah diskusi santai bersama Oei Hong Djien, Wiyu Wahono dengan moderator sang kurator dari FSRD ITB. Ada wacana menarik selain kisah singkat pengalaman Oei Hong Djien dan Wiyu Wahono sebagai kolektor yang dianggap cukup penting. Bahwa menurut pengakuan mereka seorang kolektor saat ini tidak berorientasi pada trading atau perdagangan atau cari untung saja. Baik Oei Hong Djien atau Wiyu Wahono memiliki visi mempromosikan karya seniman atau perupa Indonesia ke Eropa dan Amerika dengan modal kekuatan seniman melalui karyanya di kawasan Asia Tenggara. Dua kolektor ini mengaku bahwa mengoleksi karya seni rupa berdasarkan passion dan budaya--seperti etika kolektor di Jerman yang dikutip Wiyu Wahono sebagai rujukan. Praktik mengoleksi karya seni rupa Indonesia masih belum pada tingkatan passion atau culturally, karena menurut Wiyu Wahono, kolektor muda di Indonesia adalah para investor yang masih harus belajar banyak mengenai metoda dan tujuan mengoleksi karya seni rupa. Hal itu diakui Wiyu Wahono setelah mengungkapkan sejumlah praktik mengoleksi seni rupa kontemporer di Indonesia belakangan ini. Kenyataan ini pula yang akhirnya menjerumuskan beberapa seniman atau perupa muda yang terjun dalam mainstream seni rupa kontemporer Indonesia beberapa tahun terakhir. Bahwa balai lelang yang dijadikan referensi harga oleh para kolektor yang notabene investor menjadi itu pembenaran modus investasi dan praktik advertisement versi kolektor di Indonesia. Padahal mungkin semua mengetahui berapa banyak karya seni lukis palsu buah tangan pelukis maestro Indonesia turut dilegalkan atas nama keuntungan ekonomis. Oei Hong Djien dan Wiyu Wahono memprihatinkan praktik perdagangan karya seni rupa belakangan ini yang justru bertujuan keuntungan ekonomi. Wiyu Wahono mengeluarkan 3 pra-kondisi seni rupa kontemporer. Pertama, seniman atau perupa harus konsisten. Kedua, karyanya harus dikoleksi oleh kolektor tertentu (tanpa penjelasan rinci kolektor itu siapa atau yang seperti apa mengoleksinya). Ketiga, harga di balai lelang (auction) itu menjaga harga suatu karya seni rupa. Pada praktiknya, pra-kondisi yang kedua dan ketiga itulah yang banyak masalah. Bahwa kriteria kolektor yang baik di Indonesia sekarang masih samar antara pedagang (art dealer) dan kolektor yang memang mengoleksi untuk tidak dijual. Serta masih pada tingkatan belajar bagaimana melakukan praktik mengoleksi karya seni rupa. Juga balai lelang seringkali melegalkan praktik lelang lukisan palsu dan atau menjatuhkan harga sebuah lukisan karya seniman yang sudah senior –seperti yang dialami oleh lukisan-lukisan Jeihan Sukmantoro. Walhasil, karya-karya yang dipamerkan memang cukup penting mewakili praktik seni rupa kontemporer versi seni rupa Indonesia. Terlepas dari persoalan baik atau buruknya praktik promosi dan ‘dongkrak’ harga karya-karya oleh para kolektor-investor. Yang menjadi catatan dalam akhir sesi diskusi santai itu adalah bagaimana peranan penting kolektor dalam seni rupa kontemporer Indonesia dapat mendorong promosi karya seni rupa Indonesia di Asia Pasifik dan Eropa. Sehingga pemerintah mau mendukung secara nyata seni rupa Indonesia melalui program-program positif bagi seniman dan kolektor. Pada program pameran itu posisi seniman memang tidak dianggap penting, karena yang penting adalah kolektor dalam situasi sekarang. Itu sebabnya seniman-seniman yang karyanya dipamerkan oleh kolektornya masing-masing tidak hadir dalam pembukaan pameran. Oei Hong Djien sebagai kolektor senior dan Asmudjo sebagai kurator seni rupa kontemporer pada malam pembukaan memang secara tegas menyatakan hal itu. Setelah era 1990-an peran kurator sangat penting dan saat ini peran penting itu didapuk oleh kolektor. Bagaimana nasib dan takdir seni rupa kontemporer Indonesia ke depan? Tak ada satu kolektor pun yang menjawabnya oleh karena para kolektor pada praktiknya tetap bertujuan mencari untung dengan berbagai cara masing-masing. *** |
*) Argus Firmansah, kurator independen dan fotografer |
Comments: | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
my interpretation on this :(analyse)
i was google-ing thru on art topic n review some journal and saw this page on indonesia art news and would love to share some thought on this blog..it makes me wonder what we are actually looking for or looking forward on art as a whole.is it just the artist that plays the role in art scene?or a connection or even a combination between art collectors,curators and gallery are needed to work hand in hand?i guess frm what i've seen is basically a collaboration and combination of both artist as a main character support by people off backstage crew curator and all that is like a drug they needed each other to support.But it seems that this is just don't seem like what it supposed to act like in malaysian scene.or shud i say an ego in our selves makes it even worst to crack the art problematic(permasalahan seni itu sendiri).rambut sama hitam hati lain2..as a matter of fact,each artist have their own ideology or own perspectives of saying what they feel to express on..:)so in order to understand what these artist were expressing on individuality is to works collaboarative with curators,art writer as the main forces in helping reconnects malaysian art scene as a whole.
Margaret mead quotes:-
What people say, what people do, and what they say they do are entirely different things.
*full review please go to this web-link:http://www.indonesiaartnews.or.id
No comments:
Post a Comment