mikien galore


I made this widget at MyFlashFetish.com.

Saturday, November 13, 2010

Kolektor Seni Rupa Angkat Bicara

Seorang pengunjung tengah menyimak lukisan karya Galam Zulkifli dalam pameran "The Collectors Turn". (foto: argus)
ARTSociates kembali menghadirkan karya-karya terbaik dari babakan seni rupa kontemporer Indonesia melalui program pamerannya yang ketiga bertajuk “The Collectors' Turn” di Lawangwangi Art and Science Estate, Dago-Bandung mulai tanggal 12 Juni hingga 25 Juni 2010.

Kali ini Asmudjo Jono Irianto menjadi kurator pameran tersebut. Asmudjo memilih sejumlah karya-karya dari Agus Suwage, Dede Eri Supria, Dikdik Sayahdikumullah, Entang Wiharso, Galam Zulkifli, Handiwirman Saputra untuk dihadirkan di ruang pamer Lawangwangi. Sekaligus penguatan wacana seni rupa kontemporer Indonesia saat ini yang didukung oleh peranan positif para kolektor seni rupa Indonesia. Dan Para kolektor yang meminjamkan koleksinya untuk dipamerkan adalah Eddy Hartanto, Gunawan Setokusumo, Brenny van Groesen, Oei Hong Djien, Wiyu Wahono, dan Simon Tan.

Pembukaan pameran oleh Oei Hong Djien menjadi penanda penting mengenai posisi kolektor yang dianggap paling penting ketimbang senimannya sendiri. Wacana ini dikuatkan oleh pernyataan Oei Hong Djien setelah Asmudjo mengatakan bahwa peran yang paling penting atau bintang dalam seni rupa kontemporer adalah kolektor.

“Memang ada benarnya bahwa saat ini yang paling penting adalah kolektor. Tanpa kolektor seniman bisa pindah profesi,” kata Oei Hong Djien.

Usai mengapresiasi karya seniman milik kolektor yang disajikan para hadirin yang terdiri dari seniman, publik pecinta seni dan beberapa kolektor muda berbakat yang berlatar belakang investor itu mengikuti sebuah diskusi santai bersama Oei Hong Djien, Wiyu Wahono dengan moderator sang kurator dari FSRD ITB. Ada wacana menarik selain kisah singkat pengalaman Oei Hong Djien dan Wiyu Wahono sebagai kolektor yang dianggap cukup penting. Bahwa menurut pengakuan mereka seorang kolektor saat ini tidak berorientasi pada trading atau perdagangan atau cari untung saja.

Baik Oei Hong Djien atau Wiyu Wahono memiliki visi mempromosikan karya seniman atau perupa Indonesia ke Eropa dan Amerika dengan modal kekuatan seniman melalui karyanya di kawasan Asia Tenggara. Dua kolektor ini mengaku bahwa mengoleksi karya seni rupa berdasarkan passion dan budaya--seperti etika kolektor di Jerman yang dikutip Wiyu Wahono sebagai rujukan.

Praktik mengoleksi karya seni rupa Indonesia masih belum pada tingkatan passion atau culturally, karena menurut Wiyu Wahono, kolektor muda di Indonesia adalah para investor yang masih harus belajar banyak mengenai metoda dan tujuan mengoleksi karya seni rupa. Hal itu diakui Wiyu Wahono setelah mengungkapkan sejumlah praktik mengoleksi seni rupa kontemporer di Indonesia belakangan ini. Kenyataan ini pula yang akhirnya menjerumuskan beberapa seniman atau perupa muda yang terjun dalam mainstream seni rupa kontemporer Indonesia beberapa tahun terakhir. Bahwa balai lelang yang dijadikan referensi harga oleh para kolektor yang notabene investor menjadi itu pembenaran modus investasi dan praktik advertisement versi kolektor di Indonesia. Padahal mungkin semua mengetahui berapa banyak karya seni lukis palsu buah tangan pelukis maestro Indonesia turut dilegalkan atas nama keuntungan ekonomis.

Oei Hong Djien dan Wiyu Wahono memprihatinkan praktik perdagangan karya seni rupa belakangan ini yang justru bertujuan keuntungan ekonomi. Wiyu Wahono mengeluarkan 3 pra-kondisi seni rupa kontemporer. Pertama, seniman atau perupa harus konsisten. Kedua, karyanya harus dikoleksi oleh kolektor tertentu (tanpa penjelasan rinci kolektor itu siapa atau yang seperti apa mengoleksinya). Ketiga, harga di balai lelang (auction) itu menjaga harga suatu karya seni rupa.

Pada praktiknya, pra-kondisi yang kedua dan ketiga itulah yang banyak masalah. Bahwa kriteria kolektor yang baik di Indonesia sekarang masih samar antara pedagang (art dealer) dan kolektor yang memang mengoleksi untuk tidak dijual. Serta masih pada tingkatan belajar bagaimana melakukan praktik mengoleksi karya seni rupa. Juga balai lelang seringkali melegalkan praktik lelang lukisan palsu dan atau menjatuhkan harga sebuah lukisan karya seniman yang sudah senior –seperti yang dialami oleh lukisan-lukisan Jeihan Sukmantoro.

Walhasil, karya-karya yang dipamerkan memang cukup penting mewakili praktik seni rupa kontemporer versi seni rupa Indonesia. Terlepas dari persoalan baik atau buruknya praktik promosi dan ‘dongkrak’ harga karya-karya oleh para kolektor-investor. Yang menjadi catatan dalam akhir sesi diskusi santai itu adalah bagaimana peranan penting kolektor dalam seni rupa kontemporer Indonesia dapat mendorong promosi karya seni rupa Indonesia di Asia Pasifik dan Eropa. Sehingga pemerintah mau mendukung secara nyata seni rupa Indonesia melalui program-program positif bagi seniman dan kolektor.

Pada program pameran itu posisi seniman memang tidak dianggap penting, karena yang penting adalah kolektor dalam situasi sekarang. Itu sebabnya seniman-seniman yang karyanya dipamerkan oleh kolektornya masing-masing tidak hadir dalam pembukaan pameran. Oei Hong Djien sebagai kolektor senior dan Asmudjo sebagai kurator seni rupa kontemporer pada malam pembukaan memang secara tegas menyatakan hal itu. Setelah era 1990-an peran kurator sangat penting dan saat ini peran penting itu didapuk oleh kolektor. Bagaimana nasib dan takdir seni rupa kontemporer Indonesia ke depan? Tak ada satu kolektor pun yang menjawabnya oleh karena para kolektor pada praktiknya tetap bertujuan mencari untung dengan berbagai cara masing-masing. ***
*) Argus Firmansah, kurator independen dan fotografer

Comments:
Sabtu, 26 Juni 2010 - 15:05
arifin - aripin8@live.com
ada duahal yg menarik di dlm omong ini yg pertama pelukis akan beralih propesi tampakolektor,pernyataan ini menuru akutidak semua benar.kerena pa kenyataannya masih banyak seniman2lukis konsisten pd panggilan untuk terus berbuat walaopun blm terjamah oleh pasar . .atao mungkin yg dimaksutkan adalah pelukis2 yg besar terhimbas oleh pasar itu sendiri.sehnga ketika pasar melesu dan mereka tidak kecipratan rejeki lagi menjadi kehilangan semangat untuk berkarya dan beralih propesi. Yg kedua menurut aku sebaiknya kolektor dan kurator tidak merasa saling dipenting kan,justru harus ada kinerji yg baik untuk mengangjkat seni/seniman,kerena di akui atao tidak seniman itu adalah sumber inspirasi bagi knlektor dan kurutor dlm segalahal.jadi sebenar nya antara seniman kurator dan kolektor adalah simbioses mutualis.
Rabu, 23 Juni 2010 - 04:22
menik wardoyo -
@Ardan: sampai sekarang pun masih selera pasar yang mengendalikan kancah senirupa internasional, namun, mereka tetep diperkuat oleh wacana dan memang benar-benar yang berwacana itu yang naik. Dan yang bekrja keras pun yang naik daun. Tapi apakah kolektor di tanah air mau mempertimbangkan wacana tentang senimannya? ya belum tentu. Tergantung pada kolektor yang mana dulu sih ;)
Senin, 21 Juni 2010 - 19:31
ardan sahabat - ardan_miko@yahoo.com
selera kurator selera pasar selera seniman selera kritikus semua berbeda terkadang semua bertarung untuk survival dan tidak ada yg lebih hebat diantara semuanya tergantung jaman sedang berfihak kepada siapa jaman ini jaman "uang" coba di ingat2 lagi GUGENHAIM museum semua koleksinya ... atas dasar selera pasar.. bakul coklat .. sejarah lama berulang
Jum'at, 18 Juni 2010 - 19:49
eger axza - egeraxza@gmail.com
masih adakah seni murni! kalau menurut saya perupa murni pada konsepnya gak usa liat kanan kiri. itu baru seniman. saya yakin perupa gak butuh kurator juga kolektor karena seniman berkarya karena gejolak jiwa.
Kamis, 17 Juni 2010 - 21:07
marco - marco@gmail.com
sebenarnya yang penting bukan kolektornya, tapi uang kolektornya, ya to?
Kamis, 17 Juni 2010 - 21:04
hahuu - hahuu@yahoo.com
mosok sih???? perlu diteliti lagilah...
Kamis, 17 Juni 2010 - 13:19
hermawansyah - hermawansyah@kebunsagu.com
praktek senirupa kontemporer indonesia strukturnya adalah seniman, karya, kurator, kolektor, pameran, gallery/museum. struktur ini umum dibaca sebagai strategi seni pasar. karya seniman otomatis ke arena pasar. parameternya pada teknik yang sempurna walaupun misalnya idenya bolak-balik dari copypaste. bukan pada proses dialektika gagasannya. senirupa china dengan kecanggihan tehniknya udah pasti mendominasi pasar. pencanggihan tehnik mengalahkan segalanya, beginilah seni diwacanakan didunia pasar kapitalis. yang untung adalah pemilik modalnya. hadiah buat seniman dijaga dengan gelar selebritis dan gaya hidup mewah, eksklusif terpotong dari kehidupan lingkungan sosialnya. disinilah kewajaran seni dan kapitalisme.
Kamis, 17 Juni 2010 - 04:34
menik wardoyo -
biasanya kolektor tidak tampil banyak di publik. Dan biasanya pula, seorang kolektor yang benar2 professional, entah untuk kelangenan atau komersil, tetap mempunyai seorang penasehat ahli yang mendampinginya. Penasihatnya bukan calo lelang, atau kurator, atau galerist, tapi seseorang yang benar-benar bisa menghadirkan wacana dan juga tentunya sejarah maupun prospek si senimannya. Jadi seniman juga sulit menembus kolektor kalau kurang memenuhi syarat wacana dan jam terbang atau prospek karirnya ke masa depan. Namun pada kenyataannya seniman banyak dihadapkan pada arogansi-arogansi hegemonik, entah dari kolektor atau kurator, yang memang menentukan arah ke mana dan apa sih seni rupa kontemporer Indonesia itu. Sebaiknya ada klasifikasi jelas, kalau ada seniman yang ingin hanya bisa jualan lukisannya tanpa mementingkan perkembangan wacana, ya silahkan jual ke toko seni rupa. Kalau galerist ingnnya cari profit, ya angkat senimannya yang fair dong, jangan yang ece-ece tapi karen temen kurator jadi terangkat. haiyaahhhh.... Please semangat mitos Baskiat itu satu dibanding sejuta kali yaa...
Rabu, 16 Juni 2010 - 23:02
meynifa usdayanti - mailaf.yanti@)ahoo.com
pembeli adalah raja, klo boleh saya ringkas ulasan tsb diatas. tapi cukup mengherankan buat saya klo ada kolektor ato kurator yang konon profesi itu berawal dari kecintaan thd dunia seni khusus nya seni rupa yang tidak peduli thd nasib pelaku seninya ato biasa disebut sbg seniman???? sehingga dg mudahnya bisa membuat seniman jatuh bangun?? lalu bagainaba dg nasib seniman yg karyanya belum sempat dikoleksi kolektor??? masih adakah kolektor atau kurator yg berhati mulia untuk membantu mempromosikan seniman ?? padahal seniman tsb sdh memenuhi kriteria pertama yaitu konsisten..........
Rabu, 16 Juni 2010 - 22:01
Martha - hilda@yahoo.co.uk
Setuju banget mbak...mungkin yang mengaku kolektor sudah tua saat ini merasa terancam dan bergerilya melalui pemilik lukisan (pra kolektor) muda yang baru punya <>
Rabu, 16 Juni 2010 - 21:30
Ririen -
Tidak semua kolektor muda Indonesia adalah investor atau untuk sekedar mencari keuntungan, tidak semua kolektor muda Indonesia tidak mengkoleksi dgn passion. menurut saya, sebagai kolektor, muda maupun yang senior sekalipun akan tetap terus belajar praktik mengkoleksi karya seni rupa karena selalu akan terjadi perkembangan dlm seni rupa baik itu senimannya, kekaryaannya maupun institusi2 yg ada. Untuk para kolektor, menurut saya yg plg penting kita jgn munafik dan seharusnya kompak jika kita ingin mendukung seniman Indonesia dan mempromosikan seni rupa Indonesia hingga tingkat Asia Pasifik.
Rabu, 16 Juni 2010 - 16:45
menik wardoyo -
Terus terang saya setuju dengan ungkapan Mas Wiju. Dan terus terag pula saya sangat berat hati melepas karya untuk kolektor yag belum apa-apa sudah gatel untuk main di lelang. Kita membutuhkan museum di tanah air, dan pemerintah sebaiknya mulai mempertimbangkan adanya museum of contemporary art. Dan museum ini sebaiknya tidak dikelola oleh privat. Tujuan galery komersial memang menjual sebanyak-banaknya dan mendapat keuntungan. Tapi jangan lupa, ketekunan kerja seorang pemusik jalanan yang menjadi pelukis besar, adalah karya dan karsa dalam hidupnya, dan pegang peran paling penting di sini. Selera dan etika kolektor, galeris dan kurator di tanah air masih menjiplak main stream di luar dan ok aja sih technik kita bisa kejar, tapi your passion and cultural consideration Bung, Bang Bi... pleaseee
Rabu, 16 Juni 2010 - 16:45
menik wardoyo -
Terus terang saya setuju dengan ungkapan Mas Wiju. Dan terus terag pula saya sangat berat hati melepas karya untuk kolektor yag belum apa-apa sudah gatel untuk main di lelang. Kita membutuhkan museum di tanah air, dan pemerintah sebaiknya mulai mempertimbangkan adanya museum of contemporary art. Dan museum ini sebaiknya tidak dikelola oleh privat. Tujuan galery komersial memang menjual sebanyak-banaknya dan mendapat keuntungan. Tapi jangan lupa, ketekunan kerja seorang pemusik jalanan yang menjadi pelukis besar, adalah karya dan karsa dalam hidupnya, dan pegang peran paling penting di sini. Selera dan etika kolektor, galeris dan kurator di tanah air masih menjiplak main stream di luar dan ok aja sih technik kita bisa kejar, tapi your passion and cultural consideration Bung, Bang Bi... pleaseee
Rabu, 16 Juni 2010 - 14:59
hermawansyah - hermawansyah@kebunsagu.com
yang terjadi, senirupa indonesia semua sah!!! bagus juga kalau ada yang mencipta pada wilayah yg berbeda, tidak seragam. diharap akan terjadi komparasi yg semestinya. mungkin juga akan ada time is not for money!
Rabu, 16 Juni 2010 - 00:08
Freddy Gunawan - saensano@yahoo.com
Sah2 saja seniman berkarya semata untuk seni. Ada yang suka atau tidak, dikoleksi kolektor atau tidak. Tapi juga sah2 saja seniman berkarya untuk tujuan komersial. Kala ini berkarya untuk semata seni, kala lain berkarya untuk komersial. Ambil contoh, di dunia musik, salah satu seniman jazz muda Indonesia juga gak pantang nyanyi pop buat mempertahankan asap dapurnya, tapi juga tetap melahirkan karya jazz bermutu yang mungkin kurang diminati kalayak. Biarin aja. Seniman juga butuh uang buat bayar ongkos2. Nah, begitu juga sah2 saja kolektor itu koleksi karya semata untuk seni (saja). Dan sah2 saja ada "kolekdol" yang belanja karya untuk investasi atau jualan. Masih juga sah2 saja konglomerat yang gak ngerti seni belanja karya miliaran perak (atas bujukan art dealer..) untuk pajang di ruang tamunya, guna memantapkan ke-konglomerat-nya. Tidak ada soalnya semua itu. Yang penting jalan terus seniman Indonesia untuk kemajuan seni Indonesia.. Namun perlu tetap ragu, apa ada kolektor yang semata belanja karya hanya untuk seni? hehehe.. dia juga butuh biaya untuk belanja karya yang lain yang hanya untuk disimpan. Apa untuk itu semata dari dana segar? Saya kira kok sebagian dari menjual karya yang memang dibeli (untuk siap dijual)...
Selasa, 15 Juni 2010 - 18:29
bejo taruno - ahyar_martini@yahoo.co.id
jan jane,lan sak umpama.....mengangkat itu dari yang paling dasar mungkin akan terasa lebih_bedanya?
Selasa, 15 Juni 2010 - 13:36
freak - freakry.wow@gmail.com
sama-sama cari untung, kenapa pemerintah + galeri + kolektor + seniman tidak bikin koperasi saja yak, he he
Selasa, 15 Juni 2010 - 13:05
hermawansyah - hermawansyah@kebunsagu.com
Museum, gallery dan kolektor sangat penting dalam hal seni sebagai alat kapitalisme. Ini salah satu paradigma pasca modernism, bukan cuma di seni tapi segala aspek perilaku sosial dan budaya. Praktek kontemporerisasi semacam ini memang menjanjikan kesenangan karena iming2 materi. Tapi semua ini menjadi masalah besar, kerena tidak memiliki tanggung jawab etika dan moral. Mereka yang terlibat di persoalan ini hanya mengandalkan tanggung jawab propesi (profesionalisme) hubungannya vertical antara seniman dengan kolektor atau sejenisnya seperti galeri atau museum dan kurator, tapi tidak pada tanggung jawab sosial dan moral. Perilaku2 tersebut adalah narsis dan autis. Perangkat kapitalis lainnya adalah lomba atau kompetisi-kompetisi seni yang dibuat untuk mendukung praktek kapitalisasi, walaupun disertai dengan bermacam alasan. Praktek kontemporerisasi yang dilakukan oleh infrastruktur yang disebutkan diatas telah GAGAL menerjemahkan seni pasca modern secara bijaksana. Perbincangan semacam ini telah lama di wacanakan diberbagai wilayah mainstream seni modern sejak 70-80an. Oleh sebab itu ditunggu cara baru dalam membuat seni. Salam!
Selasa, 15 Juni 2010 - 06:10
andonowati - andonowati@artsociates.com
Sebenar-nya pameran The Collectors' Turn salah satu-nya dilatar-belakangi kesadaran bahwa institusi museum publik hampir-2 absen di Indonesia. Karena itu Lawangwangi menyediakan space-nya untuk menjadi "museum" publik sementara. Silahkan publik melihat koleksi seni terbaik yang ada di private collectors. Pameran ini juga didukung baik oleh seniman yang membuat karya baru untuk dijual maupun kolektor seni Indonesia yang secara tidak langsung turut "membiayai" pameran seperti. Kurator seni punya peran memilih karya-karya kolektor untuk dipamerkan. Semoga usaha ini bisa dinikmati oleh publik dan pencinta seni.
Selasa, 15 Juni 2010 - 00:12
aliumar - pos_umar@yahoo.co.uk
seniman,kolektor, kurator.galeri itu sama penting satu sama lain nya,sesuai dgn aktivitas nya masing2,ada yg sangat penting sekali sebagai penyeimbang semua ini,yaitu museum seni kontemporer/musium seni rupa yg representatif,kita bisa belajar di negara2 maju,berapa banyak museum di luar sana,mereka sudah ada acuan/standar yg bisa di pedomanin untuk karya yg baik /karya yg monumental,disamping itu museum juga bisa untuk study,documentasi,dll.masak sebesar ini negara,dgn jumlah seniman yg banyak tak satu pun museum milikpemerintah/yg benar2 museum yg representatif(kecuali museum pribadi.

my interpretation on this :(analyse)

i was google-ing thru on art topic n review some journal and saw this page on indonesia art news and would love to share some thought on this blog..it makes me wonder what we are actually looking for or looking forward on art as a whole.is it just the artist that plays the role in art scene?or a connection or even a combination between art collectors,curators and gallery are needed to work hand in hand?i guess frm what i've seen is basically a collaboration and combination of both artist as a main character support by people off backstage crew curator and all that is like a drug they needed each other to support.But it seems that this is just don't seem like what it supposed to act like in malaysian scene.or shud i say an ego in our selves makes it even worst to crack the art problematic(permasalahan seni itu sendiri).rambut sama hitam hati lain2..as a matter of fact,each artist have their own ideology or own perspectives of saying what they feel to express on..:)so in order to understand what these artist were expressing on individuality is to works collaboarative with curators,art writer as the main forces in helping reconnects malaysian art scene as a whole.

Margaret mead quotes:-

What people say, what people do, and what they say they do are entirely different things.


*full review please go to this web-link:http://www.indonesiaartnews.or.id

No comments:

Post a Comment